Sebelum berangkat ke Yogya, kami sudah membuat jadwal sendiri. Kami berencana menginap di Yogya selama lima hari empat malam dengan jadwal ke beberapa area kota dan area wisata, dari mulai pantai hingga dataran tinggi (kaki gunung).
Hari 1 adalah hari kami tiba di Yogya (sudah diceritakan di kisah sebelumnya).
Hari 2
Di hari kedua ini, kami merencanakan mengunjungi pantai. Di manakah pantai-pantai di Yogya? Tentunya di area selatan dari Provinsi Yogyakarta ini. Ya, di selatan Yogya berbaris berbagai jenis dan nama pantai yang tentunya berbeda-beda walaupun masih berada di satu garis selatan Pulau Jawa. Daerah selatan dengan banyak kawasan pantai itu dinamakan Gunung Kidul.
Ternyata oh ternyata, Gunung Kidul itu bukanlah kawasan gunung, justru merupakan kawasan pantai (jujur aku baru tahu saat merencanakan perjalanan ini). Ya, Yogyakarta merupakan sebuah provinsi yang terbagi dalam lima wilayah: Sleman, Yogyakarta, Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul (sekian kali ke Yogya, baru sadar tentang lima kawasan ini dan letaknya masing-masing).
Kami berangkat menuju Gunung Kidul dengan mobil pribadi milik teman kami, yang kebetulan ia sedang berdomisili di Yogya karena tuntutan pekerjaan. Jadilah aku dan teman-teman sebagai tim nebengers, berhubung juga memang sulit menggunakan transportasi umum di Yogya. Eniwei, terima kasih banyak yaa Suha dan adiknya, Hasna :") .Tanpa disadari, jalan menuju Gunung Kidul itu sepertinya merupakan jalan provinsi. Tangguh sekali dua orang temanku yang rela menyetir kendaraan menuju Gunung Kidul ini. Di sana, kami mengunjungi beberapa pantai, yaitu Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Sundak, dan Pantai Indrayanti yang memiliki karakternya masing-masing. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari untuk melihat sunset. Sayangnya, hari itu cuaca mendung. Tidak lama dari tibanya kami di Pantai Indrayanti, gerimis mulai turun dan kami pun segera pulang. For your info, ketika mulai memasuki jalan kendaraan menuju lokasi pantai-pantai ini, (jalannya cukup jauh dari jalanan lebar yang kami duga sebagai jalan provinsi tadi) jalanan mulai menyempit, mungkin hanya cukup sekitar dua mobil dan itu pun sangat mepet. Selain itu, tidak terdapat lampu jalanan yang membuat pengendara bermotor hanya dapat mengandalkan cahaya lampu kendaraan, cukup bahaya sepertinya jika kami masih di sana hingga matahari terbenam, sehingga kami pun memutuskan pulang sebelum itu. Di antara perjalanan dari Gunung Kidul menuju Yogya, kami sempat mampir makan malam di Bukit Bintang. fyi: harga satu kali makan di Yogya (saat aku ke sana) relatif murah, +/- 20.000 rupiah sekali makan sudah dengan minum.
Pantai Sepanjang
Pantai Drini, foto dari arah karangnya
Pantai Sundak, cukup sepi dan tenaaaang
Pantai Indrayanti, ramai, udah mau magrib, dan udah mau ujan - buru-buru pulang
Bukit Bintang, bintang itu adalah lampu-lampu yang terlihat seperti bintang dari arah bukit ini
Hari 3
Kaki Gunung Merapi
Alhamdulillah ternyata diberi kesempatan juga untuk mampir ke kawasan Gunung Merapi, walaupun hanya kaki gunungnya saja. Nggak kepikiran bisa juga ke kawasan ini, berhubung aku sendiri tidak terlalu suka mendaki karena kadang-kadang bisa bikin sesak napas (I love beach much more than mountain!). Namun, kunjungan ke Merapi yang kami rencanakan ini bukanlah hiking yang bisa dikatakan perlu persiapan matang. Kunjungan kami lebih berupa wisata menuju kaki gunung dan beberapa tempat bersejarah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, sehingga kami hanya berbekal jaket hangat, air minum, sedikit (hanya 1) cemilan, dan kamera. Ya, terdapat tour menuju kawasan Gunung Merapi dengan menggunakan jeep. Tur ini bisa dipesan beberapa hari sebelumnya dan kita dapat dijemput langsung dengan jeep dari area kita menginap. Jeep inilah yang nantinya akan membawa kita langsung menuju kawasan Gunung Merapi. Waktu untuk melakukan tur pun beragam. Kami memilih waktu berangkat subuh agar dapat melihat sunrise di kaki Gunung Merapi. Kira-kira pukul 8 pagi kami sudah mulai turun kembali dari kaki gunung menggunakan jeep yang sama.
Pengalaman ini cukup seru, kami bangun dan berangkat sebelum subuh (lumayan lelah juga karena sehari sebelumnya sudah melakukan perjalanan lumayan jauh ke Gunung Kidul), solat subuh dilakukan di Mesjid yang kami lewati (masih di area Kaliurang, namun sudah mendekati kaki gunung). Hawanya dingiiiin dan gelap, bahkan masih ada bulan. Semakin mendekati gunung, kami mulai memasuki kawasan hutan-hutan, jalanan yang cukup terjal (tentunya masih dapat dilewati jeep), juga sungai yang katanya sudah mengering karena merupakan jalur aliran lava saat Merapi terakhir kali memuntahkan isi perut bumi (tentu saja kami tidak dapat melihat dengan jelas sungai yang dimaksud pemandu wisata yang sekaligus merupakan pengendara jeep tersebut - gelap gulita dan dingin).
Sesampainya di kaki gunung (yang pastinya masih cukup gelap), kami dipersilahkan mampir di warung yang ada (sejenis warung kopi yang menjual wedang-wedangan, cemilan, dan minuman hangat lainnya). Di warung inilah pertama kalinya aku mencoba wedang gedang (wedang + pisang), rasanya cukup unik tapi memang cukup ampuh untuk menghangatkan tubuh saat itu (rasa-rasanya, aku tetap lebih suka wedang ronde).
Singkat cerita, ketika langit mulai sedikit terang, kami mulai berjalan melewati bangker yang berada tidak jauh dari warung tempat kami istirahat. Kami sedikit mendaki, melewati rumput-rumput dan ilalang kecil. Di depan kami Gunung Merapi dan di belakang kami terhampar pemandangan kelap-kelip lampu kota Yogya, mashaAllah indahnya...
Sekitar pukul 8, kami mulai turun dari kaki gunung (menggunakan jeep). Kami sempat mampir ke beberapa rumah-rumah yang hangus dan hancur karena letusan Merapi beberapa tahun sebelumnya. Dari kejadian saat itu, disarankan bahwa sebaiknya area huni berada sekitar 17 km dari kaki gunung (agak-agak lupa, kalau tidak salah sekitar segitu). Betapa pentingnya pengaturan hunian agar dapat mengurangi jumlah korban bencana alam.
Alhamdulillah ternyata diberi kesempatan juga untuk mampir ke kawasan Gunung Merapi, walaupun hanya kaki gunungnya saja. Nggak kepikiran bisa juga ke kawasan ini, berhubung aku sendiri tidak terlalu suka mendaki karena kadang-kadang bisa bikin sesak napas (I love beach much more than mountain!). Namun, kunjungan ke Merapi yang kami rencanakan ini bukanlah hiking yang bisa dikatakan perlu persiapan matang. Kunjungan kami lebih berupa wisata menuju kaki gunung dan beberapa tempat bersejarah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, sehingga kami hanya berbekal jaket hangat, air minum, sedikit (hanya 1) cemilan, dan kamera. Ya, terdapat tour menuju kawasan Gunung Merapi dengan menggunakan jeep. Tur ini bisa dipesan beberapa hari sebelumnya dan kita dapat dijemput langsung dengan jeep dari area kita menginap. Jeep inilah yang nantinya akan membawa kita langsung menuju kawasan Gunung Merapi. Waktu untuk melakukan tur pun beragam. Kami memilih waktu berangkat subuh agar dapat melihat sunrise di kaki Gunung Merapi. Kira-kira pukul 8 pagi kami sudah mulai turun kembali dari kaki gunung menggunakan jeep yang sama.
Pengalaman ini cukup seru, kami bangun dan berangkat sebelum subuh (lumayan lelah juga karena sehari sebelumnya sudah melakukan perjalanan lumayan jauh ke Gunung Kidul), solat subuh dilakukan di Mesjid yang kami lewati (masih di area Kaliurang, namun sudah mendekati kaki gunung). Hawanya dingiiiin dan gelap, bahkan masih ada bulan. Semakin mendekati gunung, kami mulai memasuki kawasan hutan-hutan, jalanan yang cukup terjal (tentunya masih dapat dilewati jeep), juga sungai yang katanya sudah mengering karena merupakan jalur aliran lava saat Merapi terakhir kali memuntahkan isi perut bumi (tentu saja kami tidak dapat melihat dengan jelas sungai yang dimaksud pemandu wisata yang sekaligus merupakan pengendara jeep tersebut - gelap gulita dan dingin).
Sesampainya di kaki gunung (yang pastinya masih cukup gelap), kami dipersilahkan mampir di warung yang ada (sejenis warung kopi yang menjual wedang-wedangan, cemilan, dan minuman hangat lainnya). Di warung inilah pertama kalinya aku mencoba wedang gedang (wedang + pisang), rasanya cukup unik tapi memang cukup ampuh untuk menghangatkan tubuh saat itu (rasa-rasanya, aku tetap lebih suka wedang ronde).
Singkat cerita, ketika langit mulai sedikit terang, kami mulai berjalan melewati bangker yang berada tidak jauh dari warung tempat kami istirahat. Kami sedikit mendaki, melewati rumput-rumput dan ilalang kecil. Di depan kami Gunung Merapi dan di belakang kami terhampar pemandangan kelap-kelip lampu kota Yogya, mashaAllah indahnya...
Sekitar pukul 8, kami mulai turun dari kaki gunung (menggunakan jeep). Kami sempat mampir ke beberapa rumah-rumah yang hangus dan hancur karena letusan Merapi beberapa tahun sebelumnya. Dari kejadian saat itu, disarankan bahwa sebaiknya area huni berada sekitar 17 km dari kaki gunung (agak-agak lupa, kalau tidak salah sekitar segitu). Betapa pentingnya pengaturan hunian agar dapat mengurangi jumlah korban bencana alam.
Candi Prambanan
Kunjungan ke Candi Prambanan dilakukan siang menuju sore harinya di hari itu. Candi itu buka hingga pukul 5 sore dan kami tiba di sana sekitar pukul 16.30. Tidak banyak yang kami lakukan di sana, hanya melihat-lihat sebentar dan berfoto. Saat itu pun baru saja hujan. Rintik-rintik tetesan gerimis juga masih terasa ketika kami mengunjungi kawasan Candi Prambanan ini.
Kunjungan ke Candi Prambanan dilakukan siang menuju sore harinya di hari itu. Candi itu buka hingga pukul 5 sore dan kami tiba di sana sekitar pukul 16.30. Tidak banyak yang kami lakukan di sana, hanya melihat-lihat sebentar dan berfoto. Saat itu pun baru saja hujan. Rintik-rintik tetesan gerimis juga masih terasa ketika kami mengunjungi kawasan Candi Prambanan ini.
Menghadap kota Yogya dari kaki gunung di waktu subuh (Agak blur, cukup susah mengambil foto dalam gelap)
Menghadap gunung Merapi (terlihat datar, tapi sebenarnya ini jalan menanjak, lewat batu-batu, rumput kecil, dan ilalang)
Mataharinya malu-malu, yang terlihat cuma segini, tapi tetep indaah
Rangka kelinci (akibat terkena letusan gunung merapi). Kunjungan ke rumah-rumah yang sudah rusak dan dijadikan museum kecil
Sudah tahu lah ya, ini Prambanan (Lagi hujan, banyak yang payungan)
Hari 4
Museum Kereta
Museum ini isinya berbagai macam kereta kencana yang pernah digunakan Kesultanan Yogyakarta. Baru pertama kali aku ke sini dan cukup takjub melihat berbagai jenis kereta kencana, dari yang hanya dua roda hingga empat roda, dari yang terbuka hingga yang tertutup, dari yang digunakan untuk mengangkut manusia hingga yang digunakan untuk mengangkut jenazah, dari yang terlihat sederhana hingga yang terlihat mewah, dari yang masih digunakan hingga yang sudah tidak digunakan lagi.
Harga tiket masuknya juga tidak menguras kantong banyak, sedikit lupa, tapi masih di bawah lima ribu + tiket izin foto seribu rupiah. Lumayan untuk menambah wawasan tentang sejarah dan pengetahuan tentang transportasi yang pernah digunakan sultan-sultan. Lokasinya sendiri tidak terlalu jauh dari kompleks Kesultanan Yogyakarta.
Museum ini isinya berbagai macam kereta kencana yang pernah digunakan Kesultanan Yogyakarta. Baru pertama kali aku ke sini dan cukup takjub melihat berbagai jenis kereta kencana, dari yang hanya dua roda hingga empat roda, dari yang terbuka hingga yang tertutup, dari yang digunakan untuk mengangkut manusia hingga yang digunakan untuk mengangkut jenazah, dari yang terlihat sederhana hingga yang terlihat mewah, dari yang masih digunakan hingga yang sudah tidak digunakan lagi.
Tiket izin foto
Keraton Yogya
Mungkin cukup banyak orang yang sudah pernah mengunjungi Keraton Yogya. Lokasinya memang cukup strategis, di tengah kota, sehingga tidak cukup sulit untuk mencapai area ini (walaupun memang tetap lebih efektif menggunakan transportasi pribadi menuju lokasinya). Kali ini, kedua kalinya aku berkunjung ke Keraton Yogya. Tidak banyak yang kuingat dari kunjungan pertamaku ke Keraton Yogya (masih kecil banget, waktu SD).
Hari itu cukup ramai, ada turis dan ada pula rombongan pariwisata. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi cukup menarik juga melihat beberapa aktivitas yang sedang berlangsung di Keraton Yogya. Beberapa abdi dalam dan juga pemandu terlihat melakukan aktivitasnya di Keraton Yogya ini. Di sini kita juga dapat melihat beberapa koleksi keraton dan mengalami ruang-ruang di dalamnya, baik di ruang terbuka maupun di beberapa bangunannya.
Mungkin cukup banyak orang yang sudah pernah mengunjungi Keraton Yogya. Lokasinya memang cukup strategis, di tengah kota, sehingga tidak cukup sulit untuk mencapai area ini (walaupun memang tetap lebih efektif menggunakan transportasi pribadi menuju lokasinya). Kali ini, kedua kalinya aku berkunjung ke Keraton Yogya. Tidak banyak yang kuingat dari kunjungan pertamaku ke Keraton Yogya (masih kecil banget, waktu SD).
Hari itu cukup ramai, ada turis dan ada pula rombongan pariwisata. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi cukup menarik juga melihat beberapa aktivitas yang sedang berlangsung di Keraton Yogya. Beberapa abdi dalam dan juga pemandu terlihat melakukan aktivitasnya di Keraton Yogya ini. Di sini kita juga dapat melihat beberapa koleksi keraton dan mengalami ruang-ruang di dalamnya, baik di ruang terbuka maupun di beberapa bangunannya.
Taman Sari
Taman Sari merupakan area pemandian sultan zaman dahulu. Kini, dijadikan sebagai objek wisata saja. Saat itu kami ditemani oleh pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari area ini dan bagaimana kondisinya saat ini. Kabarnya, area ini merupakan sumber mata air, namun saat ini sudah tidak banyak jumlah mata air aslinya.
Keluar dari area Taman Sari, kami diarahkan melewati jalan setapak kecil di balik area Taman Sari. Terlihat rumah-rumah kecil masa kini yang aku dan teman-teman sadari sebagai area perkampungan kota (hunian) bagi penduduk setempat. Tidak jauh kami berjalan, sampailah kami di Masjid bawah tanah (lupa nama asinya). Kini, masjid ini sudah tidak difungsikan. Untuk menuju area wudhu dan area solat dari masjid ini, kami harus turun ke bawah (seperti turun menuju area kereta bawah tanah), melewati lorong yang cukup besar, berbelok, masih lorong, dan kami pun tiba di area masjid tersebut. Tidak seperti tipologi masjid yang sering kita lihat saat ini di mana-mana di wilayah Indonesia khususnya. Masjid in berbentuk melingkar dengan area wudunya di tengah-tengah masjid (tentunya kiblatnya tidak mengarah ke tengah). Jadi, hanya susunan ruang solat masjidnya saja yang melingkar (benar-benar melingkar seperti donat yang area tengahnya adalah ruang terbuka - area wudhu). Terbayang sepertinya pada masa digunakannya masjid ini cukup megah.
Setelah kami mengunjungi Taman Sari, tujuan kami berikutnya adalah Malioboro. Wisatawan Yogya mana yang tidak tahu area ini. Selain oleh-oleh yang banyak dan tumpah ruah, dari segi ruang, area ini memang cukup unik. Di sini, kita masih bisa melihat delman dan becak (konturnya relatif datar, tidak seperti di Kaliurang). Beberapa hotel besar, oleh-oleh makanan kerajinan, pakaian, batik, maupun makanan juga berpusat di area ini.
Taman Sari merupakan area pemandian sultan zaman dahulu. Kini, dijadikan sebagai objek wisata saja. Saat itu kami ditemani oleh pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari area ini dan bagaimana kondisinya saat ini. Kabarnya, area ini merupakan sumber mata air, namun saat ini sudah tidak banyak jumlah mata air aslinya.
Keluar dari area Taman Sari, kami diarahkan melewati jalan setapak kecil di balik area Taman Sari. Terlihat rumah-rumah kecil masa kini yang aku dan teman-teman sadari sebagai area perkampungan kota (hunian) bagi penduduk setempat. Tidak jauh kami berjalan, sampailah kami di Masjid bawah tanah (lupa nama asinya). Kini, masjid ini sudah tidak difungsikan. Untuk menuju area wudhu dan area solat dari masjid ini, kami harus turun ke bawah (seperti turun menuju area kereta bawah tanah), melewati lorong yang cukup besar, berbelok, masih lorong, dan kami pun tiba di area masjid tersebut. Tidak seperti tipologi masjid yang sering kita lihat saat ini di mana-mana di wilayah Indonesia khususnya. Masjid in berbentuk melingkar dengan area wudunya di tengah-tengah masjid (tentunya kiblatnya tidak mengarah ke tengah). Jadi, hanya susunan ruang solat masjidnya saja yang melingkar (benar-benar melingkar seperti donat yang area tengahnya adalah ruang terbuka - area wudhu). Terbayang sepertinya pada masa digunakannya masjid ini cukup megah.
Setelah kami mengunjungi Taman Sari, tujuan kami berikutnya adalah Malioboro. Wisatawan Yogya mana yang tidak tahu area ini. Selain oleh-oleh yang banyak dan tumpah ruah, dari segi ruang, area ini memang cukup unik. Di sini, kita masih bisa melihat delman dan becak (konturnya relatif datar, tidak seperti di Kaliurang). Beberapa hotel besar, oleh-oleh makanan kerajinan, pakaian, batik, maupun makanan juga berpusat di area ini.
Salah satu kolam pemandian di Taman Sari
Area solat masjid bawah tanah, Taman Sari (melingkar)
Area wudhu masjid bawah tanah Taman Sari
Hari 5
Museum Merapi