Kenapa sih kita perlu berupaya selalu untuk mengisi aktivitas kita dengan kebaikan (walaupun saya akui, ngga semudah itu ya :p)? Kenapa kita harus belajar menjadi baik? Kenapa kita harus mencari ilmu-ilmu kebaikan? Emangnya sepenting itu ya? Emang kenapa kalau maunya gini, toh hidup tuh hidup gue. Pernah mikir gitu ngga? Jujur saya pernah... 🤪🤫.
Setelah menempuh hidup sekitar seperempat abad ini, saya menyadari bahwa pikiran kita, tubuh kita, ya intinya kita punya kecenderungan untuk mengalami kelembaman (kecenderungan semua benda fisik untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya).
Jadi, kalau udah mager ya mager, kalau udah pingin rebel ya rebel, kalau udah kebiasaan negatif ya cenderung negatif, dsb. Padahal, sebenarnya kita bisa mengatur kelembaman negatif itu supaya tetap berada di koridor yang benar, tidak sempurna benar, tapi bisa mengarah ke situ.
Biasanya, kecenderungan kita (mengalami kelembaman) itu bermula dari satu kesempatan, kita merasa nyaman (yg negatif-negatif itu seringkali mengarah ke nyaman, enak, mudah, ngga perlu effort, dsb) dan akhirnya keterusan, lalu kemudian terlena.
Nah, kenapa pula bisa ada kesempatan negatif itu? Setelah mengamati, menjalani, dan mendengar dari berbagai sumber, yang saya pahami: munculnya kesempatan negatif itu ialah dari celah-celah yang ngga terisi dengan baik.
Ya, celah itu terkait dengan jarak, renggang, dan di antara. Lalu, apa yang dimaksud itu semua? Kenapa juga itu jadi penting dan baiknya diwaspadai?
Oke... Saya mencoba membaginya dalam dua contoh, dari segi positif - negatif dan dari sisi waktu.
Contoh pertama, pernah ngga kita naik kereta / kendaraan umum, atau mau duduk di suatu tempat dan ruang duduk yang tersisa hanya ada di antara dua orang? Kemungkinan besarnya kursi yang tersisa itu akan segera terisi kan..
Contoh kedua, pernah ngga, kita antri pesan di kasir fast food, lalu antrian sebelah terlihat lebih kosong dan secara reflek tubuh kita mengisi antrian yang lebih kosong, semacam terpikir, "wah ada celah nih, ya masuk ajalah". Semudah itu kita melihat celah dan mengisinya.
Sekarang, kemungkinan yang lebih terinci lagi. Ketika kita naik kereta, kita menjadi salah satu orang yang mengapit satu kursi kosong itu, kemungkinan yang mengisi kursi kosong itu ada dua, seseorang yang diam-diam aja, tenang-tenang aja (kita anggap sebagai orang yang tidak mengganggu), atau seseorang yang ternyata cukup membuat kita tidak nyaman, semisal orang itu membawa makanan berbau yang kita tidak suka atau orang itu tidur dan mengintervensi ruang duduk kita. Poinnya, celah yang masuk itu bisa positif dan bisa negatif.
Sementara, untuk contoh kedua, secara waktu, celah antrian akan terisi dengan cepat karena setiap orang akan reflek mengisi celah antrian yang lebih kosong. Poinnya, yang namanya celah itu sangat mudah untuk diisi.
Sekarang, coba dibayangkan apa jadinya ketika celah itu adalah waktu solat kita, dari mulai adzan sampai selesainya waktu solat itu, atau celah itu adalah waktu-waktu di antara waktu-waktu solat. Lalu, bayangkan juga celah itu adalah hubungan kita dengan sahabat kita, atau hubungan kita dengan pasangan kita (untuk yang udah punya :p), atau hubungan kita dengan orang tua kita. Dan bayangkan juga, jika celah itu adalah hati kita, hati kita bercelah, hati kita kosong.
Nah, di antara waktu-waktu solat, ada jeda aktivitas yang kita lakukan, seberapa cepat kita mampu mengisinya? Dan seberapa positif kah aktivitas yang kita lakulan di antara itu. Saya tidak muluk-muluk karena saya pun tidak sesempurna itu, saya masih belajar dan masih suka keliru. Tapi, saya sadari, di celah antara waktu-waktu solat itu banyak sekali godaan untuk melakukan hal yang tidak baik, menunda pekerjaan misalnya, bergosip, bermalas-malasan, dsb dsb. Begitu juga di antara adzan dan habisnya waktu solat, selalu ada celah kemungkinan untuk menunda solat hingga batas akhir, alhamdulillah jika tetap dilaksanakan, tapi sedih sekali jika tidak sampai waktunya.
Berikutnya, di antara hubungan antar manusia. Ketika komunikasi merenggang, jarak menguat, dan celah terbentuk, akan ada banyak kemungkinan prasangka-prasangka yang tidak perlu tetapi tetap muncul di kepala. Akan ada gap dan celah untuk enggan memulai lagi, gengsi ah, atau mulai merasa tidak nyaman, dsb. Apa jadinya jika itu berlanjut? Tentunya suatu hubungan yang terjalin bisa tidak semulus pada awalnya, atau bahkan celah itu bisa terisi oleh yang lain, ya kan?
Nah, lalu, bagaimana kalau celah itu juga ada di hati kita? Ruang kosong itu jika tidak terisi kebaikan ya maka akan terisi keburukan. Jika tidak diisi oleh iman, lalu akan diisi dengan apa? Jika tidak diisi dengan rasa kasih sayang, lalu akan diisi dengan apa? Jika tidak kita kontrol untuk diberi asupan positif, maka akan terisi dengan apa? Cukup mengerikan jika celah hati kita disalip oleh sesuatu yang bukan iman. Sementara, dikatakan nikmat paling dibutuhkan adalah nikmat iman. Cukup mengerikan jika hati bercelah, tidak dimasuki lagi oleh iman, atau nikmat iman kita dicabut seketika. Akan bagaimanakah nasib kita di dunia dan di akhirat kelak? Naudzubillah himinzalik.
Satu-satunya upaya mengantisipasi hal-hal negatif menyisip di semua celah hidup kita adalah dengan tetap berupaya mengisi celah-celah itu dengan hal-hal positif. Tidak ada yang tau dan tidak ada yang menjamin bahwa celah-celah hidup kita akan selalu terisi dengan kebaikan, kecuali kita memang mengisinya dengan kebaikan.
Jadi, dari keterkaitan itulah saya memahami bahwa penting sekali untuk mewaspadai celah-celah di hidup kita dan penting sekali untuk tetap berusaha dan memaksa diri kita mencari dan mengarahkannya pada kebaikan. Karena kalau bukan diri kita sendiri, siapa lagi yang bisa memaksa kita untuk ke arah kebaikan?
Wallahu'alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar