Terkadang kita lupa, pada kebaikan apa yang kita dapat,
dan pada luka yang tak kita rasakan.
Terkadang problema membuat rasa mengalahkan logika,
mendorong amarah mengangkat dirinya semampai lebih tinggi daripada akal sehat.
Terkadang kemelut memaksa pandangan mata hati dan pikiran kita menjadi tak luas lagi.
Mungkin sesekali,
Lihatlah langit cerah yang tak kunjung dirundung lelah,
atau butiran air yang silih berganti berjatuhan menuju bumi,
atau lihatlah satu-satu raut sejawat yang tengah dirundung kemelut,
juga kaki-kaki mungil yang berupaya keras mendaki bukit,
dan kau sendiri... masih patut bersyukur
Senin, 21 Desember 2015
Minggu, 11 Oktober 2015
Pengingat
Terkadang, kita butuh mundur sejenak, entah untuk me time atau bercengkrama dengan teman-teman lama, hanya untuk bisa melihat lebih luas.
Terkadang, kita butuh menolehkan kepala kita ke kanan dan ke kiri hanya untuk melihat dunia ini secara lebih bijak.
Terkadang, kita butuh melakukan hal positif di luar yang biasa kita lakukan, hanya untuk merasakan lebih jauh, mensyukuri kondisi kita, atau malah memacu diri kita.
Mungkin jenuh itu bukanlah alasan utamanya. Sudut pandanglah yang harusnya dicari. Bukan bujur sangkar, lingkaran, atau oval, tapi sudut pandang yang seperti bola. Bola yang mampu memantulkan dirinya ke berbagai sisi.
Sayangnya, ketika terpantul terlalu keras ia akan berbalik.
Tapi... bukankah ia akan berbalik lagi pada perihal yang melemparnya? Ya... pantulan-pantulan keras itu harusnya tidak ditinggalkan tapi diselesaikan.
Mundur sejenak, bukan menjauh.
Menoleh sejenak, bukan berlari ke samping dan pergi.
Atau, ia akan berhenti sejenak ketika pantulan itu tidak keras, nyaman mungkin.
Terkesan labilkah? Dinamis? Atau fleksibel? Tergantung sudut pandang kita sejauh mana mampu mengambil sisi positifnya. Hemm... tapi bukankah memang tidak ada yang abadi? Tidak ada yang tidak datang, tidak ada yang tidak pergi. Semuanya akan berputar, bergantian, dari satu sisi ke sisi yang lain, dari sisi sana ke sisi sini,
karena dunia ini pun masih berputar.
Terkadang, kita butuh menolehkan kepala kita ke kanan dan ke kiri hanya untuk melihat dunia ini secara lebih bijak.
Terkadang, kita butuh melakukan hal positif di luar yang biasa kita lakukan, hanya untuk merasakan lebih jauh, mensyukuri kondisi kita, atau malah memacu diri kita.
Mungkin jenuh itu bukanlah alasan utamanya. Sudut pandanglah yang harusnya dicari. Bukan bujur sangkar, lingkaran, atau oval, tapi sudut pandang yang seperti bola. Bola yang mampu memantulkan dirinya ke berbagai sisi.
Sayangnya, ketika terpantul terlalu keras ia akan berbalik.
Tapi... bukankah ia akan berbalik lagi pada perihal yang melemparnya? Ya... pantulan-pantulan keras itu harusnya tidak ditinggalkan tapi diselesaikan.
Mundur sejenak, bukan menjauh.
Menoleh sejenak, bukan berlari ke samping dan pergi.
Atau, ia akan berhenti sejenak ketika pantulan itu tidak keras, nyaman mungkin.
Terkesan labilkah? Dinamis? Atau fleksibel? Tergantung sudut pandang kita sejauh mana mampu mengambil sisi positifnya. Hemm... tapi bukankah memang tidak ada yang abadi? Tidak ada yang tidak datang, tidak ada yang tidak pergi. Semuanya akan berputar, bergantian, dari satu sisi ke sisi yang lain, dari sisi sana ke sisi sini,
karena dunia ini pun masih berputar.
Sabtu, 27 Juni 2015
Yogya Trip, Januari 2015
Kali ini aku akan melanjutkan cerita perjalananku dan 5 orang teman ke Yogya. Cerita yang ini kurang lebih cerita selama aku dan teman-teman tinggal di sana (rumah eyang salah satu temanku).
Sebelum berangkat ke Yogya, kami sudah membuat jadwal sendiri. Kami berencana menginap di Yogya selama lima hari empat malam dengan jadwal ke beberapa area kota dan area wisata, dari mulai pantai hingga dataran tinggi (kaki gunung).
Hari 1 adalah hari kami tiba di Yogya (sudah diceritakan di kisah sebelumnya).
Hari 2
Di hari kedua ini, kami merencanakan mengunjungi pantai. Di manakah pantai-pantai di Yogya? Tentunya di area selatan dari Provinsi Yogyakarta ini. Ya, di selatan Yogya berbaris berbagai jenis dan nama pantai yang tentunya berbeda-beda walaupun masih berada di satu garis selatan Pulau Jawa. Daerah selatan dengan banyak kawasan pantai itu dinamakan Gunung Kidul.
Ternyata oh ternyata, Gunung Kidul itu bukanlah kawasan gunung, justru merupakan kawasan pantai (jujur aku baru tahu saat merencanakan perjalanan ini). Ya, Yogyakarta merupakan sebuah provinsi yang terbagi dalam lima wilayah: Sleman, Yogyakarta, Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul (sekian kali ke Yogya, baru sadar tentang lima kawasan ini dan letaknya masing-masing).
Kami berangkat menuju Gunung Kidul dengan mobil pribadi milik teman kami, yang kebetulan ia sedang berdomisili di Yogya karena tuntutan pekerjaan. Jadilah aku dan teman-teman sebagai tim nebengers, berhubung juga memang sulit menggunakan transportasi umum di Yogya. Eniwei, terima kasih banyak yaa Suha dan adiknya, Hasna :") .Tanpa disadari, jalan menuju Gunung Kidul itu sepertinya merupakan jalan provinsi. Tangguh sekali dua orang temanku yang rela menyetir kendaraan menuju Gunung Kidul ini. Di sana, kami mengunjungi beberapa pantai, yaitu Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Sundak, dan Pantai Indrayanti yang memiliki karakternya masing-masing. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari untuk melihat sunset. Sayangnya, hari itu cuaca mendung. Tidak lama dari tibanya kami di Pantai Indrayanti, gerimis mulai turun dan kami pun segera pulang. For your info, ketika mulai memasuki jalan kendaraan menuju lokasi pantai-pantai ini, (jalannya cukup jauh dari jalanan lebar yang kami duga sebagai jalan provinsi tadi) jalanan mulai menyempit, mungkin hanya cukup sekitar dua mobil dan itu pun sangat mepet. Selain itu, tidak terdapat lampu jalanan yang membuat pengendara bermotor hanya dapat mengandalkan cahaya lampu kendaraan, cukup bahaya sepertinya jika kami masih di sana hingga matahari terbenam, sehingga kami pun memutuskan pulang sebelum itu. Di antara perjalanan dari Gunung Kidul menuju Yogya, kami sempat mampir makan malam di Bukit Bintang. fyi: harga satu kali makan di Yogya (saat aku ke sana) relatif murah, +/- 20.000 rupiah sekali makan sudah dengan minum.
Sebelum berangkat ke Yogya, kami sudah membuat jadwal sendiri. Kami berencana menginap di Yogya selama lima hari empat malam dengan jadwal ke beberapa area kota dan area wisata, dari mulai pantai hingga dataran tinggi (kaki gunung).
Hari 1 adalah hari kami tiba di Yogya (sudah diceritakan di kisah sebelumnya).
Hari 2
Di hari kedua ini, kami merencanakan mengunjungi pantai. Di manakah pantai-pantai di Yogya? Tentunya di area selatan dari Provinsi Yogyakarta ini. Ya, di selatan Yogya berbaris berbagai jenis dan nama pantai yang tentunya berbeda-beda walaupun masih berada di satu garis selatan Pulau Jawa. Daerah selatan dengan banyak kawasan pantai itu dinamakan Gunung Kidul.
Ternyata oh ternyata, Gunung Kidul itu bukanlah kawasan gunung, justru merupakan kawasan pantai (jujur aku baru tahu saat merencanakan perjalanan ini). Ya, Yogyakarta merupakan sebuah provinsi yang terbagi dalam lima wilayah: Sleman, Yogyakarta, Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul (sekian kali ke Yogya, baru sadar tentang lima kawasan ini dan letaknya masing-masing).
Kami berangkat menuju Gunung Kidul dengan mobil pribadi milik teman kami, yang kebetulan ia sedang berdomisili di Yogya karena tuntutan pekerjaan. Jadilah aku dan teman-teman sebagai tim nebengers, berhubung juga memang sulit menggunakan transportasi umum di Yogya. Eniwei, terima kasih banyak yaa Suha dan adiknya, Hasna :") .Tanpa disadari, jalan menuju Gunung Kidul itu sepertinya merupakan jalan provinsi. Tangguh sekali dua orang temanku yang rela menyetir kendaraan menuju Gunung Kidul ini. Di sana, kami mengunjungi beberapa pantai, yaitu Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Sundak, dan Pantai Indrayanti yang memiliki karakternya masing-masing. Kami menghabiskan waktu hingga sore hari untuk melihat sunset. Sayangnya, hari itu cuaca mendung. Tidak lama dari tibanya kami di Pantai Indrayanti, gerimis mulai turun dan kami pun segera pulang. For your info, ketika mulai memasuki jalan kendaraan menuju lokasi pantai-pantai ini, (jalannya cukup jauh dari jalanan lebar yang kami duga sebagai jalan provinsi tadi) jalanan mulai menyempit, mungkin hanya cukup sekitar dua mobil dan itu pun sangat mepet. Selain itu, tidak terdapat lampu jalanan yang membuat pengendara bermotor hanya dapat mengandalkan cahaya lampu kendaraan, cukup bahaya sepertinya jika kami masih di sana hingga matahari terbenam, sehingga kami pun memutuskan pulang sebelum itu. Di antara perjalanan dari Gunung Kidul menuju Yogya, kami sempat mampir makan malam di Bukit Bintang. fyi: harga satu kali makan di Yogya (saat aku ke sana) relatif murah, +/- 20.000 rupiah sekali makan sudah dengan minum.
Pantai Sepanjang
Pantai Drini, foto dari arah karangnya
Pantai Sundak, cukup sepi dan tenaaaang
Pantai Indrayanti, ramai, udah mau magrib, dan udah mau ujan - buru-buru pulang
Bukit Bintang, bintang itu adalah lampu-lampu yang terlihat seperti bintang dari arah bukit ini
Hari 3
Kaki Gunung Merapi
Alhamdulillah ternyata diberi kesempatan juga untuk mampir ke kawasan Gunung Merapi, walaupun hanya kaki gunungnya saja. Nggak kepikiran bisa juga ke kawasan ini, berhubung aku sendiri tidak terlalu suka mendaki karena kadang-kadang bisa bikin sesak napas (I love beach much more than mountain!). Namun, kunjungan ke Merapi yang kami rencanakan ini bukanlah hiking yang bisa dikatakan perlu persiapan matang. Kunjungan kami lebih berupa wisata menuju kaki gunung dan beberapa tempat bersejarah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, sehingga kami hanya berbekal jaket hangat, air minum, sedikit (hanya 1) cemilan, dan kamera. Ya, terdapat tour menuju kawasan Gunung Merapi dengan menggunakan jeep. Tur ini bisa dipesan beberapa hari sebelumnya dan kita dapat dijemput langsung dengan jeep dari area kita menginap. Jeep inilah yang nantinya akan membawa kita langsung menuju kawasan Gunung Merapi. Waktu untuk melakukan tur pun beragam. Kami memilih waktu berangkat subuh agar dapat melihat sunrise di kaki Gunung Merapi. Kira-kira pukul 8 pagi kami sudah mulai turun kembali dari kaki gunung menggunakan jeep yang sama.
Pengalaman ini cukup seru, kami bangun dan berangkat sebelum subuh (lumayan lelah juga karena sehari sebelumnya sudah melakukan perjalanan lumayan jauh ke Gunung Kidul), solat subuh dilakukan di Mesjid yang kami lewati (masih di area Kaliurang, namun sudah mendekati kaki gunung). Hawanya dingiiiin dan gelap, bahkan masih ada bulan. Semakin mendekati gunung, kami mulai memasuki kawasan hutan-hutan, jalanan yang cukup terjal (tentunya masih dapat dilewati jeep), juga sungai yang katanya sudah mengering karena merupakan jalur aliran lava saat Merapi terakhir kali memuntahkan isi perut bumi (tentu saja kami tidak dapat melihat dengan jelas sungai yang dimaksud pemandu wisata yang sekaligus merupakan pengendara jeep tersebut - gelap gulita dan dingin).
Sesampainya di kaki gunung (yang pastinya masih cukup gelap), kami dipersilahkan mampir di warung yang ada (sejenis warung kopi yang menjual wedang-wedangan, cemilan, dan minuman hangat lainnya). Di warung inilah pertama kalinya aku mencoba wedang gedang (wedang + pisang), rasanya cukup unik tapi memang cukup ampuh untuk menghangatkan tubuh saat itu (rasa-rasanya, aku tetap lebih suka wedang ronde).
Singkat cerita, ketika langit mulai sedikit terang, kami mulai berjalan melewati bangker yang berada tidak jauh dari warung tempat kami istirahat. Kami sedikit mendaki, melewati rumput-rumput dan ilalang kecil. Di depan kami Gunung Merapi dan di belakang kami terhampar pemandangan kelap-kelip lampu kota Yogya, mashaAllah indahnya...
Sekitar pukul 8, kami mulai turun dari kaki gunung (menggunakan jeep). Kami sempat mampir ke beberapa rumah-rumah yang hangus dan hancur karena letusan Merapi beberapa tahun sebelumnya. Dari kejadian saat itu, disarankan bahwa sebaiknya area huni berada sekitar 17 km dari kaki gunung (agak-agak lupa, kalau tidak salah sekitar segitu). Betapa pentingnya pengaturan hunian agar dapat mengurangi jumlah korban bencana alam.
Alhamdulillah ternyata diberi kesempatan juga untuk mampir ke kawasan Gunung Merapi, walaupun hanya kaki gunungnya saja. Nggak kepikiran bisa juga ke kawasan ini, berhubung aku sendiri tidak terlalu suka mendaki karena kadang-kadang bisa bikin sesak napas (I love beach much more than mountain!). Namun, kunjungan ke Merapi yang kami rencanakan ini bukanlah hiking yang bisa dikatakan perlu persiapan matang. Kunjungan kami lebih berupa wisata menuju kaki gunung dan beberapa tempat bersejarah letusan Gunung Merapi beberapa tahun yang lalu, sehingga kami hanya berbekal jaket hangat, air minum, sedikit (hanya 1) cemilan, dan kamera. Ya, terdapat tour menuju kawasan Gunung Merapi dengan menggunakan jeep. Tur ini bisa dipesan beberapa hari sebelumnya dan kita dapat dijemput langsung dengan jeep dari area kita menginap. Jeep inilah yang nantinya akan membawa kita langsung menuju kawasan Gunung Merapi. Waktu untuk melakukan tur pun beragam. Kami memilih waktu berangkat subuh agar dapat melihat sunrise di kaki Gunung Merapi. Kira-kira pukul 8 pagi kami sudah mulai turun kembali dari kaki gunung menggunakan jeep yang sama.
Pengalaman ini cukup seru, kami bangun dan berangkat sebelum subuh (lumayan lelah juga karena sehari sebelumnya sudah melakukan perjalanan lumayan jauh ke Gunung Kidul), solat subuh dilakukan di Mesjid yang kami lewati (masih di area Kaliurang, namun sudah mendekati kaki gunung). Hawanya dingiiiin dan gelap, bahkan masih ada bulan. Semakin mendekati gunung, kami mulai memasuki kawasan hutan-hutan, jalanan yang cukup terjal (tentunya masih dapat dilewati jeep), juga sungai yang katanya sudah mengering karena merupakan jalur aliran lava saat Merapi terakhir kali memuntahkan isi perut bumi (tentu saja kami tidak dapat melihat dengan jelas sungai yang dimaksud pemandu wisata yang sekaligus merupakan pengendara jeep tersebut - gelap gulita dan dingin).
Sesampainya di kaki gunung (yang pastinya masih cukup gelap), kami dipersilahkan mampir di warung yang ada (sejenis warung kopi yang menjual wedang-wedangan, cemilan, dan minuman hangat lainnya). Di warung inilah pertama kalinya aku mencoba wedang gedang (wedang + pisang), rasanya cukup unik tapi memang cukup ampuh untuk menghangatkan tubuh saat itu (rasa-rasanya, aku tetap lebih suka wedang ronde).
Singkat cerita, ketika langit mulai sedikit terang, kami mulai berjalan melewati bangker yang berada tidak jauh dari warung tempat kami istirahat. Kami sedikit mendaki, melewati rumput-rumput dan ilalang kecil. Di depan kami Gunung Merapi dan di belakang kami terhampar pemandangan kelap-kelip lampu kota Yogya, mashaAllah indahnya...
Sekitar pukul 8, kami mulai turun dari kaki gunung (menggunakan jeep). Kami sempat mampir ke beberapa rumah-rumah yang hangus dan hancur karena letusan Merapi beberapa tahun sebelumnya. Dari kejadian saat itu, disarankan bahwa sebaiknya area huni berada sekitar 17 km dari kaki gunung (agak-agak lupa, kalau tidak salah sekitar segitu). Betapa pentingnya pengaturan hunian agar dapat mengurangi jumlah korban bencana alam.
Candi Prambanan
Kunjungan ke Candi Prambanan dilakukan siang menuju sore harinya di hari itu. Candi itu buka hingga pukul 5 sore dan kami tiba di sana sekitar pukul 16.30. Tidak banyak yang kami lakukan di sana, hanya melihat-lihat sebentar dan berfoto. Saat itu pun baru saja hujan. Rintik-rintik tetesan gerimis juga masih terasa ketika kami mengunjungi kawasan Candi Prambanan ini.
Kunjungan ke Candi Prambanan dilakukan siang menuju sore harinya di hari itu. Candi itu buka hingga pukul 5 sore dan kami tiba di sana sekitar pukul 16.30. Tidak banyak yang kami lakukan di sana, hanya melihat-lihat sebentar dan berfoto. Saat itu pun baru saja hujan. Rintik-rintik tetesan gerimis juga masih terasa ketika kami mengunjungi kawasan Candi Prambanan ini.
Menghadap kota Yogya dari kaki gunung di waktu subuh (Agak blur, cukup susah mengambil foto dalam gelap)
Menghadap gunung Merapi (terlihat datar, tapi sebenarnya ini jalan menanjak, lewat batu-batu, rumput kecil, dan ilalang)
Mataharinya malu-malu, yang terlihat cuma segini, tapi tetep indaah
Rangka kelinci (akibat terkena letusan gunung merapi). Kunjungan ke rumah-rumah yang sudah rusak dan dijadikan museum kecil
Sudah tahu lah ya, ini Prambanan (Lagi hujan, banyak yang payungan)
Hari 4
Museum Kereta
Museum ini isinya berbagai macam kereta kencana yang pernah digunakan Kesultanan Yogyakarta. Baru pertama kali aku ke sini dan cukup takjub melihat berbagai jenis kereta kencana, dari yang hanya dua roda hingga empat roda, dari yang terbuka hingga yang tertutup, dari yang digunakan untuk mengangkut manusia hingga yang digunakan untuk mengangkut jenazah, dari yang terlihat sederhana hingga yang terlihat mewah, dari yang masih digunakan hingga yang sudah tidak digunakan lagi.
Harga tiket masuknya juga tidak menguras kantong banyak, sedikit lupa, tapi masih di bawah lima ribu + tiket izin foto seribu rupiah. Lumayan untuk menambah wawasan tentang sejarah dan pengetahuan tentang transportasi yang pernah digunakan sultan-sultan. Lokasinya sendiri tidak terlalu jauh dari kompleks Kesultanan Yogyakarta.
Museum ini isinya berbagai macam kereta kencana yang pernah digunakan Kesultanan Yogyakarta. Baru pertama kali aku ke sini dan cukup takjub melihat berbagai jenis kereta kencana, dari yang hanya dua roda hingga empat roda, dari yang terbuka hingga yang tertutup, dari yang digunakan untuk mengangkut manusia hingga yang digunakan untuk mengangkut jenazah, dari yang terlihat sederhana hingga yang terlihat mewah, dari yang masih digunakan hingga yang sudah tidak digunakan lagi.
Tiket izin foto
Keraton Yogya
Mungkin cukup banyak orang yang sudah pernah mengunjungi Keraton Yogya. Lokasinya memang cukup strategis, di tengah kota, sehingga tidak cukup sulit untuk mencapai area ini (walaupun memang tetap lebih efektif menggunakan transportasi pribadi menuju lokasinya). Kali ini, kedua kalinya aku berkunjung ke Keraton Yogya. Tidak banyak yang kuingat dari kunjungan pertamaku ke Keraton Yogya (masih kecil banget, waktu SD).
Hari itu cukup ramai, ada turis dan ada pula rombongan pariwisata. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi cukup menarik juga melihat beberapa aktivitas yang sedang berlangsung di Keraton Yogya. Beberapa abdi dalam dan juga pemandu terlihat melakukan aktivitasnya di Keraton Yogya ini. Di sini kita juga dapat melihat beberapa koleksi keraton dan mengalami ruang-ruang di dalamnya, baik di ruang terbuka maupun di beberapa bangunannya.
Mungkin cukup banyak orang yang sudah pernah mengunjungi Keraton Yogya. Lokasinya memang cukup strategis, di tengah kota, sehingga tidak cukup sulit untuk mencapai area ini (walaupun memang tetap lebih efektif menggunakan transportasi pribadi menuju lokasinya). Kali ini, kedua kalinya aku berkunjung ke Keraton Yogya. Tidak banyak yang kuingat dari kunjungan pertamaku ke Keraton Yogya (masih kecil banget, waktu SD).
Hari itu cukup ramai, ada turis dan ada pula rombongan pariwisata. Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tapi cukup menarik juga melihat beberapa aktivitas yang sedang berlangsung di Keraton Yogya. Beberapa abdi dalam dan juga pemandu terlihat melakukan aktivitasnya di Keraton Yogya ini. Di sini kita juga dapat melihat beberapa koleksi keraton dan mengalami ruang-ruang di dalamnya, baik di ruang terbuka maupun di beberapa bangunannya.
Taman Sari
Taman Sari merupakan area pemandian sultan zaman dahulu. Kini, dijadikan sebagai objek wisata saja. Saat itu kami ditemani oleh pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari area ini dan bagaimana kondisinya saat ini. Kabarnya, area ini merupakan sumber mata air, namun saat ini sudah tidak banyak jumlah mata air aslinya.
Keluar dari area Taman Sari, kami diarahkan melewati jalan setapak kecil di balik area Taman Sari. Terlihat rumah-rumah kecil masa kini yang aku dan teman-teman sadari sebagai area perkampungan kota (hunian) bagi penduduk setempat. Tidak jauh kami berjalan, sampailah kami di Masjid bawah tanah (lupa nama asinya). Kini, masjid ini sudah tidak difungsikan. Untuk menuju area wudhu dan area solat dari masjid ini, kami harus turun ke bawah (seperti turun menuju area kereta bawah tanah), melewati lorong yang cukup besar, berbelok, masih lorong, dan kami pun tiba di area masjid tersebut. Tidak seperti tipologi masjid yang sering kita lihat saat ini di mana-mana di wilayah Indonesia khususnya. Masjid in berbentuk melingkar dengan area wudunya di tengah-tengah masjid (tentunya kiblatnya tidak mengarah ke tengah). Jadi, hanya susunan ruang solat masjidnya saja yang melingkar (benar-benar melingkar seperti donat yang area tengahnya adalah ruang terbuka - area wudhu). Terbayang sepertinya pada masa digunakannya masjid ini cukup megah.
Setelah kami mengunjungi Taman Sari, tujuan kami berikutnya adalah Malioboro. Wisatawan Yogya mana yang tidak tahu area ini. Selain oleh-oleh yang banyak dan tumpah ruah, dari segi ruang, area ini memang cukup unik. Di sini, kita masih bisa melihat delman dan becak (konturnya relatif datar, tidak seperti di Kaliurang). Beberapa hotel besar, oleh-oleh makanan kerajinan, pakaian, batik, maupun makanan juga berpusat di area ini.
Taman Sari merupakan area pemandian sultan zaman dahulu. Kini, dijadikan sebagai objek wisata saja. Saat itu kami ditemani oleh pemandu wisata yang menceritakan sejarah dari area ini dan bagaimana kondisinya saat ini. Kabarnya, area ini merupakan sumber mata air, namun saat ini sudah tidak banyak jumlah mata air aslinya.
Keluar dari area Taman Sari, kami diarahkan melewati jalan setapak kecil di balik area Taman Sari. Terlihat rumah-rumah kecil masa kini yang aku dan teman-teman sadari sebagai area perkampungan kota (hunian) bagi penduduk setempat. Tidak jauh kami berjalan, sampailah kami di Masjid bawah tanah (lupa nama asinya). Kini, masjid ini sudah tidak difungsikan. Untuk menuju area wudhu dan area solat dari masjid ini, kami harus turun ke bawah (seperti turun menuju area kereta bawah tanah), melewati lorong yang cukup besar, berbelok, masih lorong, dan kami pun tiba di area masjid tersebut. Tidak seperti tipologi masjid yang sering kita lihat saat ini di mana-mana di wilayah Indonesia khususnya. Masjid in berbentuk melingkar dengan area wudunya di tengah-tengah masjid (tentunya kiblatnya tidak mengarah ke tengah). Jadi, hanya susunan ruang solat masjidnya saja yang melingkar (benar-benar melingkar seperti donat yang area tengahnya adalah ruang terbuka - area wudhu). Terbayang sepertinya pada masa digunakannya masjid ini cukup megah.
Setelah kami mengunjungi Taman Sari, tujuan kami berikutnya adalah Malioboro. Wisatawan Yogya mana yang tidak tahu area ini. Selain oleh-oleh yang banyak dan tumpah ruah, dari segi ruang, area ini memang cukup unik. Di sini, kita masih bisa melihat delman dan becak (konturnya relatif datar, tidak seperti di Kaliurang). Beberapa hotel besar, oleh-oleh makanan kerajinan, pakaian, batik, maupun makanan juga berpusat di area ini.
Salah satu kolam pemandian di Taman Sari
Area solat masjid bawah tanah, Taman Sari (melingkar)
Area wudhu masjid bawah tanah Taman Sari
Hari 5
Museum Merapi
Kamis, 25 Juni 2015
On the Way to Yogyakarta, Januari 2015
Sebelumnya, mohon maaf ya, ini tulisan late post banget. Tadinya udah nyerah nggak mau nulis karena terkendala berbagai kesibukan (sok sibuk). Tapi kok, kayaknya sayang yaa. Mungkin sebaiknya kita mulai saja ceritanya:
Januari ini aku berkesempatan menginjakkan kaki lagi di Jogja, entah untuk keberapa kali. Namun, kali ini berbeda, tidak hanya sekedar lewat atau mampir karena mudik dari Jawa Timur ke Jawa Barat. Bukan pula karena tur sekolah yang itinerary-nya sudah terjadwalkan. Ini murni liburan yang kuatur sendiri bersama lima orang temanku. Naik apa, turun di mana, menginap di mana, ke mana saja, semua diatur sendiri.
Januari ini aku berkesempatan menginjakkan kaki lagi di Jogja, entah untuk keberapa kali. Namun, kali ini berbeda, tidak hanya sekedar lewat atau mampir karena mudik dari Jawa Timur ke Jawa Barat. Bukan pula karena tur sekolah yang itinerary-nya sudah terjadwalkan. Ini murni liburan yang kuatur sendiri bersama lima orang temanku. Naik apa, turun di mana, menginap di mana, ke mana saja, semua diatur sendiri.
Perjalanan dimulai dari Jakarta, kami menaiki kereta dari Stasiun Senen yang sudah kami pesan tiketnya secara online sebelumnya. Di stasiun kami hanya mengeprint tiket tersebut secara mandiri. Satu jam sebelum keberangkatan, kami sudah berada di dalam kereta, duduk manis menunggu kereta ini melaju. Banyak yang terlihat, orang membawa barang, orang berpapasan di tengah gerbong kereta dan sedikit bergumam atau menggerutu karena langkahnya menuju tempat duduk yang sudah dibelinya terhambat. Itulah kenapa mungkin kereta punya dua pintu, untuk memudahkan penumpang mencapai kursinya masing-masing. Sayangnya tidak semua penumpang paham akan keberadaan kursinya secara tepat.
Perjalanan memakan waktu cukup lama, kurang lebih 8 jam. Selama itu, kami memandang apa saja yang terlihat dari jendela, ini baru namanya cuci mata :) , walaupun kaca kereta sedikit mengaburkan pemandangan karena terlapisi debu-debu yang sepertinya sudah melekat pada kaca tersebut . Tapi, berjam-jam duduk tidak membuat kami terlepas dari kebosanan, tentu saja 8 jam duduk itu membosankan! Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun di Jawa Barat, aku memutuskan untuk berdiri dan keluar kereta sejenak. Lumayanlah untuk meluruskan kaki yang sedari tadi tertekuk.
Perjalanan pun kembali berlanjut. Di sela-selanya, kami mencoba untuk tidur walaupun tidak terlalu nyaman, sayup-sayup terdengar pramusaji menawarkan makanan ataupun minuman, kereta juga berhenti di beberapa stasiun, namun tidak terlalu lama. Menjelang magrib, keluarga yang duduk di seberang tempat dudukku mengeluarkan bekalnya dari sebuah termos, makan bersama dan terlihat seperti sedang piknik. Terlihat merepotkan, namun cukup menyenangkan bukan, berpelesir bersama keluarga dan menikmati hidangan bersama.
Delapan jam berlalu, kami tiba di St. Lempuyangan, Jogja. Gerbang keluarnya langsung menuju jalan raya yang tidak terlalu besar, kira-kira cukup untuk dua mobil dan dua becak berjejer. Banyak orang hilir mudik membawa barang, menawarkan taksi ataupun becak. "Monggo Mbak, Malioboro?" begitu ujar salah satu penawar taksi. Tujuan kami adalah Kaliurang, yang jaraknya sekitar 20an km dari st. Lempuyangan, lumayan tidak dekat. Oh ya, aku baru tahu, ternyata taksi di Jogja ada yang menggunakan tarif sesuai argo dan ada pula yang tidak. Kami memutuskan menuju Kaliurang menggunakan taksi dengan tarif sesuai argo dan ternyata lebih murah dari penawaran taksi tanpa argo, sebelumnya, saat kami benar-benar baru keluar dari st. Lempuyangan.
Melihat Jogja malam hari, tidak terlalu membuatku heran. Sekilas tampilannya mirip dengan kota-kota besar di Indonesia. Ya, tapi tentu saja tetap ada bedanya, pertokoan dengan nama-nama yang tidak biasa kulihat, juga lengangnya jalanan malam hari itu, entah karena hari itu menjelang weekend atau memang setiap hari kondisinya seperti itu. Kami tiba di rumah eyang salah satu temanku sekitar pukul 20.30, belum terlalu malam. Di sanalah kami menumpang menginap, di Kaliurang. Baiknya temanku ini menawarkan penginapan di rumah eyangnya :"))
Oh ya, sebagai info, di Jogja tidak banyak kendaraan umum yang kulihat, terutama angkot ataupun bus. Becak dan delman ada, tapi tentunya hanya untuk jarak dekat. Trans Jogja, salah satu transportasi umum berupa bus juga ada, tapi sepertinya armadanya tidak terlalu banyak. Bus umum lainnya ataupun angkot juga jarang kulihat. Pernah sekali aku melihat angkot, tapi sepertinya tidak ada sign yang jelas untuk menandakan trayek angkot tersebut. Cukup disayangkan memang, apalagi Yogya merupakan area wisata yang cukup terkenal di Indonesia.
Sekian dulu cerita awal dari perjalanan Yogya kali ini. Akhirnya bisa juga dipost,hahaha...
Sekian dulu cerita awal dari perjalanan Yogya kali ini. Akhirnya bisa juga dipost,hahaha...
Kira-kira satu orang dari kami bawaannya kayak gini (Bergaya ala backpacker ceritanya)
Cetak tiket, yeeiiy... *girang banget, baru pertama kali nyetak ginian
Kado Terspesial
Banyak sekali kado-kado spesial yang mungkin pernah kita terima dari sanak kerabat, baik orang tua, saudara, sahabat, ataupun teman. Entah saat kita lulus sesuatu, ulang tahun, ataupun sekedar menjadi kenang-kenangan atau cindera mata. Ya, tentunya itu semua spesial. Tapi, ada satu kado yang menurutku adalah kado terspesial, ialah sebuah doa. Sebuah doa dari sebuah hati yang tulus ikhlas dan jiwa yang sadar dan berniat baik dalam melantunkannya.
Sebuah doa tidak perlu dibeli untuk diperoleh, tidak perlu pula dikemas ataupun dihias, tidak perlu juga dikirimkan melalui pos atau jasa kurir lainnya. Bahkan, sebuah doa dapat menjadi kado terspesial teruntuk orang yang sudah tiada, orang tua, kakek-nenek, ataupun kerabat lainnya. Sebuah doa yang hanya perlu dipanjatkan dengan benar-benar khusyu dan ikhlas sehingga ia menjadi kado terspesial.
Bukan berarti kado spesial itu tidak diperlukan, ia dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang menerimanya, tapi jangan lupakan kado terspesial yang mungkin hanya dikabulkan bagi orang-orang yang benar-benar khusyu dan tawadhu dalam memohonnya.
Sebuah doa tidak perlu dibeli untuk diperoleh, tidak perlu pula dikemas ataupun dihias, tidak perlu juga dikirimkan melalui pos atau jasa kurir lainnya. Bahkan, sebuah doa dapat menjadi kado terspesial teruntuk orang yang sudah tiada, orang tua, kakek-nenek, ataupun kerabat lainnya. Sebuah doa yang hanya perlu dipanjatkan dengan benar-benar khusyu dan ikhlas sehingga ia menjadi kado terspesial.
Bukan berarti kado spesial itu tidak diperlukan, ia dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang menerimanya, tapi jangan lupakan kado terspesial yang mungkin hanya dikabulkan bagi orang-orang yang benar-benar khusyu dan tawadhu dalam memohonnya.
Jumat, 19 Juni 2015
Sekali lagi Tersadari
Sudah lama ya tidak mengisi blog lagi. hehe... Sekarang sudah masuk bulan Ramadhan 1436 H :) Tadi sahur, sengaja ngga sengaja aku pindahin chanel TV ke siaran Quraish Shihab. Beliau mengatakan hidayah itu datangnya dari niat. Aku jadi berpikir, mungkin kalau ada orang bilang belum siap ya itu karena dia belum niat aja, atau mungkin niatnya belum lurus. Kalau saja dia niat, inshaAllah terlaksana-terlaksana aja.
Katanya, makanya kalau niatnya udah oke, tekad kuat yang dimiliki bisa lebih dahsyat dari kekuatan amarah sekalipun. Mantap ya, sekali lagi tersadari kalau inna mal a'malubinniat itu kekuatannya dahsyat.
Jadi ingat juga, satu orang dosenku pernah bilang, ngga ada yang namanya orang ketiduran, yang ada emang orang itu niat tidur, walaupun sepersekian detik antara sadar dan tidak sadarnya. Di antara sepersekian detik itu, ada waktu di mana akhirnya ia memutuskan untuk terlelap.
Cukup sekian sharing-sharing kali ini :")
Katanya, makanya kalau niatnya udah oke, tekad kuat yang dimiliki bisa lebih dahsyat dari kekuatan amarah sekalipun. Mantap ya, sekali lagi tersadari kalau inna mal a'malubinniat itu kekuatannya dahsyat.
Jadi ingat juga, satu orang dosenku pernah bilang, ngga ada yang namanya orang ketiduran, yang ada emang orang itu niat tidur, walaupun sepersekian detik antara sadar dan tidak sadarnya. Di antara sepersekian detik itu, ada waktu di mana akhirnya ia memutuskan untuk terlelap.
Cukup sekian sharing-sharing kali ini :")
Langganan:
Postingan (Atom)